Kajian global: Inisiatif REDD+ menghadapi tantangan – dan peluang
BOGOR, Indonesia — Tindakan harus
dilakukan untuk memperjelas kepemilikan lahan di negara berkembang kaya-hutan,
dan untuk meningkatkan keberlangsungan ekonomi REDD+ atau berisiko membahayakan
upaya menurunkan deforestasi dan mitigasi perubahan iklim, demikian saran riset
baru berdasarkan riset terhadap 23 inisiatif hutan karbon.
Ratusan inisiatif percontohan dirancang untuk menguji kemungkinan
REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan)
telah berlangsung beberapa tahun terakhir. Tetapi dengan besarnya hambatan
serta belum jelasnya kesepakatan iklim, sejumlah pemrakarsa inisiatif tersebut
kehilangan antusiasme-nya terhadap REDD+, demikian menurut riset yang dipimpin
Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
"Para pemrakarsa inisiatif
bersemangat, mereka adalah sekelompok orang yang percaya apa yang mereka
lakukan untuk melindungi hutan," kata William Sunderlin, ilmuwan senior
CIFOR dan penulis utama "Tantangan Membangun REDD+ di Lapangan: Pengalaman dari
23 Inisiatif Subnasional di Enam Negara."
“Walaupun mereka menghadapi
tantangan besar yang akarnya berada di luar batas proyek mereka, khususnya
ketidakamanan penguasaan lahan dan apa yang kita sebut ‘ketidakberuntungan
ekonomi’ REDD+,” kata Sunderlin. “Inisiatif subnasional ini memerlukan lebih
lagi dukungan dari proses nasional dan internasional dalam menciptakan keadaan yang
memungkinkan REDD+ berfungsi seperti yang diinginkan.”
REDD+ muncul pada 2007 sebagai
mekanisme menjanjikan dalam memperlambat perubahan iklim antropogenik dengan
menyediakan insentif finansial bagi tetap tegaknya hutan, mengingat hutan
menyerap karbon dari atmosfer dan bahwa deforestasi dan degradasi hutan
berkontribusi terhadap 15 persen emisi gas rumah kaca global. Contohnya, di
Indonesia, pengemisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia, lebih dari 75 persen emisi datang dari konversi hutan
menjadi peternakan, pertanian dan kebakaran gambut – dalam hitungan
kasar setara emisi dari 400 juta mobil setiap tahun.
Apa yang membuat REDD+ berbeda dari upaya
sebelumnya – yang umumnya tidak berhasil –mengurangi deforestasi adalah bahwa
upaya ini berbentuk insentif berbasis kinerja. Seperti diamanatkan aslinya,
REDD+ akan menghasilkan arus pendapatan dengan menetapkan nilai finansial atas
karbon, dimana pengelola hutan menerima pembagian pendapatan tersebut hanya
jika mereka menghasilkan reduksi emisi atau meningkatkan stok karbon.
“Insentif bersyarat membuat REDD+
menjadi dorongan tambahan, walaupun agar sistem ini bekerja, harus ada
kejelasan arus penghasilan dan ini harus jelas siapa yang mendapat keuntungan,”
kata Sunderlin. “Riset kami menunjukkan bahwa aspek-aspek tersebut lemah, dan
pada aspek inilah perhatian perlu difokuskan.”
BENTANG ALAM DIPEREBUTKAN
Ketidakamanan penguasaan lahan – hak
memiliki, akses atau memanfaatkan lahan – tetap menjadi tantangan terbesar bagi
pemrakarsa, menurut temuan riset.
“REDD+ dibangun di tempat aturan
kepemilikan seringkali tidak jelas dan bersaing,” kata Sunderlin.
“Tetapi sistem penghargaan REDD+
memerlukan kejelasan siapa yang memegang hak hutan atau karbon, siapa yang
bertanggungjawab mereduksi emisi, dan siapa yang dapat mengklaim manfaat.”
Dalam survei desa di lima negara terlibat REDD+,
lebih dari separuh responden setidaknya dilaporkan memiliki ketidakamanan
penguasaan lahan, dan lebih dari seperlima tidak bisa mengusir pendatang yang
tidak diinginkan. Lebih jauh lagi, mengingat masalah penguasaan lahan umumnya adalah masalah nasional
dalam ruang lingkup dan asal, menyelesaikannya seringkali terletak
di luar kontrol para pemrakarsa. Tantangan ini, walaupun menakutkan, bukan hal
yang tidak bisa diatasi, catat Sunderlin, sejalan dengan terobosan reformasi
penguasaan lahan mulai terbentuk.
Di Indonesia, contohnya, pemerintah
meluncurkan Inisiatif Satu Peta untuk meningkatkan penguasaan
lahan dan perencataan pemanfaatan lahan, dan tahun lalu keputusan Mahkamah Konstitusi bertujuan memberi
masyarakat asli memiliki hak kepemilikan.
PENAWAR TERTINGGI
Agar semua orang merasakan manfaat,
REDD+ harus terlebih dahulu menghasilkan pemasukan, dan aliran pendapatan REDD+
yang awalnya dirancang melalui jual beli kredit
karbon di pasar karbongagal memenuhi target.
Gangguan terhadap upaya menciptakan
pendapatan merupakan akibat lemahnya ikatan kesepakatan iklim internasional
dalam mempengaruhi perubahan tata aturan, lemahnya pasar karbon dan dominasi
kepentingan kuat bisnis, demikian menurut riset.
“Jika Anda berpikir REDD sebagai
sebuah proses tawar-menawar di tempat lelang, mereka yang menawar tertinggi
memiliki kontrol terhadap hutan dan pemanfaatan lahan, tawaran dari perusahaan
pertanian besar seringkali mengalahkan apa yang ditawarkan REDD+,” kata
Sunderlin.
“Hal ini bisa diubah dengan
menetapkan persyaratan baru – kombinasi bantuan pembangunan, dana internasional
atau nasional, atau sebuah mekanisme berbasis pasar – yang dapat menghasilkan
arus pendapatan dari REDD+ dan menutup peluang ada biaya konservasi hutan.”
Kisaran jumlah pendanaan
diperkirakan antara 15 miliar dolar AS hingga 48 miliar pada 2020, dengan
suplai kredit karbon melampaui kebutuhan 13 hingga 29 kali, demikian menurut Proyek Pendanaan Hutan Internasional.
Inisiatif seperti program tutup-dan-jual California memberi harapan
menciptakan pendapatan melalui pasar karbon, walaupun, kata Sunderlin “tidak
ada keperluan mendesak terhadap apa yang belum ada.”
Namun, perpaduan sorotan riset
terhadap tantangan dan peluang solusi, pembangunan positif berlangsung dan
meningkatnya dorongan untuk beraksi bisa mengarah pada ‘solusi terobosan’,
tambahnya.
“Berkembang kesadaran di pemerintah
bahwa masalah penguasaan lahan dan ekonomi REDD+ adalah masalah mendasar dan
perlu diselesaikan segera,” kata Sunderlin.
“Anda tidak bisa mengesampingkan peluang
peningkatan dramatis dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim beberapa tahun ke
depan – hanya karena pemimpin dunia tidak bisa lagi mengabaikan perubahan
iklim.”
Untuk informasi lebih mengenai topik
riset ini, silahkan hubungi William Sunderlin di w.sunderlin@cgiar.org.
Riset ini dilakukan sebagai bagian
Riset Komparatif Global REDD+ dan Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan
Pertanian serta mendapat dukungan NORAD, AusAID, DFID, Komite Eropa, Departemn
Kerjasama Pembangunan Finlandia, dan Yayasan David dan Lucille Packard.
Catatan editor: REDD+ akan menjadi tema kunci diskusi Konferensi Tingkat
Tinggi Forests
Asia, 5-6 Mei di Jakarta, Indonesia. Dalam konferensi, panelis
akan mengeksplorasi bagaimana inisiatif REDD+ dapat memberi pelajaran bagi
strategi pembangunan rendah-emisi dan berkontribusi pada pembangunan
berkelanjutan. Peserta juga akan melihat bagaimana aktivitas REDD+ dan strategi
pembangunan rendah-emisi membantu adaptasi perubahan iklim. Baca lebih lanjut di sini.
Sumber: http://blog.cifor.org/22093/kajian-global-inisiatif-redd-menghadapi-tantangan-dan-peluang
No Comment to " Kajian global: Inisiatif REDD+ menghadapi tantangan – dan peluang "