Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Oleh: Amila Hasya Millatina
Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam
menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah dimulai pada 31 Desember 2015. ASEAN
telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika
berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority
Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan
berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang
industri dan lima sektor jasa. Ke-7 sektor barang industri terdiri atas produk
berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil,
otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut
adalah transportasi udara, e-asean, pelayan kesehatan, turisme dan jasa
logistik.
Keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh
perkembangan eksternal dan internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia
diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan disokong oleh India,
Tiongkok, dan Negara-negara ASEAN. Sedangkan secara internal, kekuatan ekonomi
ASEAN sampai tahun 2013 telah menghasilkan GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan
laju pertumbuhan sebesar 5,6% dan memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68 juta
orang.[1]
Kalimat “Satu Visi – Satu Identitas –
Satu Komunitas” – menjadi visi dan komitmen bersama yang hendak
diwujudkan oleh ASEAN pada tahun 2020. Tetapi mungkinkah cita-cita tersebut dapat
dicapai oleh Negara-negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar) dalam
waktu kurang dari satu dasawarsa lagi. Berdasarkan catatan dan laporan dari
berbagai sumber menujukkan bahwa cita-cita bersama yang terintegrasi dalam
suatu komunitas yang disebut Masyarakat Asean (Asean Community) ini
masih harus menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang terdapat pada
masing-masing Negara anggota.
Beberapa tahapan awal mesti diwujudkan untuk
merealisasikan target atau sasaran bersama Masyarakat Asean tersebut, di
antaranya adalah melalui penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic
Community) pada tahun 2015. Kesepakatan bersama untuk mengintegrasikan berbagai
Negara Asean (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunai
Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar) yang masing-masing memiliki
latar belakang sosial-budaya, ideologi politik, ekonomi dan kepentingan
berbedake dalam suatu komunitas yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean ini masih
menghadapi sejumlah kendala besar, khususnya bagi Indonesia yang masih
dihadapkan dengan berbagai masalah multi dimensi yang sarat kepentingan.
Pengertian MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian
adanya sistem perdagangan bebas antara Negara-negara Asean. Indonesia dan
Sembilan Negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Pada KTT di Kuala Lumpur pada Desember 1997 Para
Pemimpin ASEAN memutuskan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil,
makmur dan sangat kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang adil, dan
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Pada KTT Bali pada bulan Oktober 2003, para pemimpin
ASEAN menyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi tujuan dari
integrasi ekonomi regional pada tahun 2020, ASEAN Security Community dan
Komunitas Sosial-Budaya ASEAN dua pilar yang tidak terpisahkan dari Komunitas
ASEAN. Semua pihak diharapkan untuk bekerja secara kuat dalam membangun
komunitas ASEAN pada tahun 2020 mendatang.
Selanjutnya, Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang
diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat
untuk memajukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan target yang jelas dan
jadwal untuk pelaksanaan. Pada KTT ASEAN ke-12 pada bulan Januari 2007, para
pemimpin menegaskan komitmen mereka yang kuat untuk mempercpat pembentukan
Komunitas ASEAN pada tahun 2015 yang diusulkan di ASEAN Visi 2020 dan ASEAN
Concord II, dan menandatangani Deklarasi Cebu tentang Percepatan Pembentukan
Komunitas ASEAN pada tahun 2015 secara khusus, para pemimpin sepakat untuk
mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan untuk
mengubah ASEAN menjadi daerah dengan perdagangn bebas barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.[2]
Posisi Indonesia
Guna menyambut era perdagangan bebas ASEAN di ke-12
sektor yang telah disepakati, Indonesia telah melahirkan regulasi penting yaitu
UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang telah diperkenalkan ke masyarakat
sebagai salah satu strategi Indonesia membendung membanjirnya produk impor
masuk ke Indonesia. UU ini antara lain mengatur ketentuan umum tentang
perijinan bagi pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan perdagangan agar
menggunakan bahasa Indonesia di dalam pelabelan, dan peningkatan penggunaan
produk dalam negeri. Melalui UU ini pula pemerintah diwajibkan mengendalikan
ketersediaan bahan kebutuhan pokok bagi seluruh wilayah Indonesia. Kemudian
menentukan larangan atau pembatasan barang dan jasa untuk kepentingan nasional.
Regulasi tersebut terasa penting bila mempertimbangkan
kondisi perdagangan Indonesia selama ini belum optimal memanfaatkan potensi
pasar ASEAN. Pada periode Januari-Agustus 2013 misalnya, ekspor Indonesia ke
pasar ASEAN baru mencapai 23% dari nilai total ekspor. Hal ini antara lain
karena tujuan ekspor Indonesia masih terfokus pada pasar tradisional seperti
Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang. Tingkat utilitisasi preferensi tarif
ASEAN yang digunakan eksportir Indonesia untuk penetrasi ke pasar ASEAN baru
mencapai 34,4%. Peringkat Indonesia menurut global competitiveness index
masih berada di posisi ke-38 dari 148 negara. Sementara Singapura menempati
posisi ke-2, Malaysia di posisi ke-24, Thailand di posisi 37, Vietnam ke-70 dan
Filipina di posisi 59.
Ketatnya persaingan di pasar ASEAN lebih jauh dapat
disimak dari kinerja perdagangan Indonesia di tahun 2014. Sampai bulan Maret
2014, transaksi perdagangan Indonesia surplus hingga 673,2 juta dollar AS.
Surplus didapat dari selisih antara nilai ekspor yang mencapai 15,21 miliar
dengan impor 14,54 miliar dolar AS. Surplus maret ii adalah yang kedua setelah
bulan Februari sebesar 843,4 juta dolar AS. Namun demikian, Indonesia perlu
memberi perhatian khusus terhadap transaksi dagang dengan Thailand yang akan
bersama-sama terlibat dalam MEA 2015. Pada Maret 2014 silam, Indonesia
mengalami deficit dagang dengan Thailand sampai 1,048 miliar dolar AS.
Karenanya, menghadapi MEA 2015, Indonesia masih
mempunyai berbagai pekerjaan rumah yang harus ditingkatkan agar tetap mempunyai
daya saing. Untuk pilar sosial budaya, Indonesia masih perlu kerja keras
mengingat masih banyak warga Indonesia yang belum mengetahui tentang ASEAN.
padahal salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konktivitas atau kontak antara
satu warga Negara dengan warga Negara ASEAN lainnya. Pemahaman warga Negara di
Asia Tenggara terhadap MEA belum sampai 80%. Karena itu, sosialisasi MEA
menjadi sangat penting terhadap seluruh warga Negara Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Kekhawatiran yang muncul adalah, Indonesia
hanya akan menjadi pasar bagi produk sejenis dari Negara ASEAN lainnya.
Untuk pilar ekonomi, Indonesia juga masih harus
meningkatkan daya produk Indonesia. Indonesia masih harus mengembangkan
industri yang berbasis nilai tambah. Oleh karena itu Indonesia perlu kerja
keras melakukan hilirisasi produk. Dari sisi hulu, Indonesia sudah menjadi
produsen yang dapat diandalkan mulai dari pertanian, kelautan dan perkebunan.
Tetapi semua produk tersebut belum sampai ke hilir untuk mengurangi ipor barang
jadi, sebaab Indonesia telah memiliki bahan baku yang cukup.
Dari sisi liberalisasi perdagangan, produk Indonesia
praktis tidak terlalu menghadapi masalah sebab hampir 80% perdagangan Indonesia
sudah bebas hambatan. Bahkan ekonomi yang berbasis kerakyatan (UMKM) berpeluang
menembus pasar Negara ASEAN. Pemerintah telah melakukan upaya percepatan
pemerataan pembangunan sebagai bagian dari penguatan ekonomi kerakyatan. Antara
tahun 2011-2013, investasi Indonesia banyak diarahkan pada wilayah-wilayah di
luar pulau jawa dengan memberikan rangsangan tax holiday. Dengan
demikian, pusat pertumbuhan ekonomi di masa depan bukan hanya terpusat di Jawa
saja tetapi juga di luar Jawa. Usaha lain yang dilakukan pemerintah adalah
dengan membentuk kluster untuk pembinaan UMKM agar memiliki daya saing.
Bukan hanya tantangan yang akan dihadapi tetapi juga
peluang. Sektor-sektor yang akan menjadi unggulan Indonesia dalam MEA 2015
adalah Sumber Daya Alam (SDA), informasi teknologi, dan Ekonomi Kreatif. Ketiga
sektor ini merupakan sektor terkuat Indonesia jika dibandingkan dengan
Negara-negara ASEAN yang lain. Selain itu, dampak masuknya Tenaga Kerja Asing
(TKA) ke Indonesia harus dipastikan bisa berbahasa Indonesia yang baik dan
benar.[3]
Kesimpulan
Menghadapi perdagangan bebas ASEAN, langkah pertama
yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan daya saing produk Indonesia
mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar berpotensi menjadi pasar
bagi produk sejenis dari Negara tetangga. Peningkatan daya saing ini mencakup
baik produk unggulan maupun yang bukan unggulan. Di samping itu, parlemen
Indonesia dapat membantu tugas peerintah dimaksud dengan memmpersiapkan
berbagai regulasi yang bertujuan melindungi pasar Indonesia dari serbuan barang
produk Negara-negara ASEAN. Langkah semacam ini bukan dimaksudkan sebagai
langkah proteksi terhadap pasar Indonesia tetapi semata-mata untuk mencari
keseimbangan antara eksor dan impor.
[1] http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-10-II-P3DI-April-2014-4.pdf.
[3] http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-10-II-P3DI-April-2014-4.pdf.
Sumber : https://ideasforaec.wordpress.com/2015/10/18/kesiapan-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-mea/
No Comment to " Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) "